Lewati ke konten utama

Cinta Tidak Harus Mati Dan 22 Refleksi Om @Newsplatter Lainnya - Henry Manampiring

·236 kata·2 menit· 0 · 0 ·
Syahravi
Penulis
Syahravi
Seorang penggemar teknologi dan pengembang perangkat lunak yang membara!! 😄.

Yoii, cinta harus mati. Itu adalah sebuah keniscayaan.

Kalau cinta adalah rasa menggebu-gebu, keringat dingin, deg-degan, susah tidur, dan tai kucing rasa coklat maka cinta harus mati.

Dan cinta akan mati.

Pada tahap “infatuation”, “passionate love”, saat-saat awal manusia jatuh cinta dan tergila-gila, dari segi ilmu saraf, tidak ada perbedaan dengan keadaan tinggi akibat pengaruh obat-obatan.

Otak kita dibanjiri hormon-hormon yang memberikan sensasi senang yang luar biasa, mungkin mirip dengan efek narkoba.

Masalahnya di artikel yang pernah kami baca, keadaan tinggi itu tidak bisa dipertahankan secara terus-menerus dari segi medis.

Otak harus kembali ke keadaan keseimbangannya. Di buku “Happiness Hypothesis” oleh Jonathan Haidt disebutkan, saat passionate love padam, di sinilah tragedi cinta sering terjadi.

Karena kita kemudian menganggap keadaan tinggi itu sebagai cinta yang sejati.

Dan hilangnya keadaan tinggi itu membuat kita merasa bahwa cinta telah mati (Selamanya pada orang itu). Kemudian kita mencari cinta baru yang bisa memberikan keadaan tinggi lagi.

Cinta memang harus mati..

Karena itu memberi kesempatan bagi cinta yang baru, yaitu cinta yang lebih tenang, memberikan rasa nyaman, aman, dan perpendampingan (Henry: companionship).

Dan dalam fase kedua cinta ini, seperti yang dijelaskan oleh Jonathan Haidt, hubungan menjadi lebih stabil dan membahagiakan.

Dalam perpendampingan, tidak ada lagi keadaan mabuk atau tinggi yang mengasyikkan seperti dalam film-film romantis, dan itu menjadi keadaan yang seimbang.

‘Cinta’ memang harus mati.

Tantangannya adalah, apakah kita sabar menantikan kematian itu.

Referensi: Cinta Harus Mati - Henry Manampiring